Paramitha Widya Kusuma - |
JAKARTA I KEJORANEWS.COM : Anggota Komisi VII DPR RI, Paramitha Widya Kusuma, menyoal Pertamina
hendak melepas saham ke publik (IPO). Lantaran rencana ini banyak menuai
kontroversi baik dari internal Pertamina sendiri maupun masyarakat
luas.
“Masyarakat sendiri
cenderung tidak setuju rencana IPO ini, karena bisnis Pertamina ini
amat strategis sehingga harus dimiliki seutuhnya oleh negara,” kata
anggota dari Fraksi PDI Perjuangan ini, saat dihubungi Selasa, 30 Juni
2020.
Jika pun terpaksa
saham pertamina lepas ke publik, Paramitha minta jangan sampai
mengurangi pendapatan negara atau membuat bisnis pertamina dikuasai
swasta. Bukan lagi dikuasai pemerintah.
Saat
ini pengelompokan perusahaan-perusahaan yang berada di bawah holding
Pertamina atau subholding pengawasannya diragukan bisa dilakukan Komisi
VII DPR RI. Dengan adanya subholding ini dikhawatirkan Pertamina bukan
lagi perusahaan migas lagi dan Indonesia tidak lagi memiliki national
oil company.
“Kami
anggota Komisi 7 juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan
terhadap sub holding-sub holding tersebut. Contohnya saja anak
perusahaan PHE (Pertamina Hulu Energi) bisnis dia kan sangat strategis
tetapi kami kurang memiliki wewenang untuk mengawasi dia,” katanya.
Bahkan
Paramitha mensinyalir pendirian subholding hanya merupakan strategi
agar lepas dari pengawasan dan meningkatan keuntungan oknum-oknum
tertentu.
Sementara
terkait isu penghapusan BBM jenis premium dan pertalite, ia setuju
adanya upaya untuk mengurangi emisi karbon jangka panjang. Namun ia
meminta masyarakat jangan dibuiat bodoh dengan alasan tersebut.
Karena,
menurutnya hingga saat ini belum ada satu pun penelitian yang
menunjukkan bahwa Premium dan Pertalite merusak lingkungan. Sejak tahun
2005 sudah tidak ada BBM kita yang mengandung timbal.
“Jika
kita semua harus menggunakan BBM oktan tinggi seperti pertamax, itu kan
ada kandungan HOMCnya, kilang-kilang kita ini kan belum mampu
memproduksi HOMC sesuai kebutuhan,” ujar Mbak Mitha, panggilan akrab
Paramitha Widya Kusuma.
Ia
mencontohkan, TPPI di Subang meskipun sudah bisa memproduksi HOMC tapi
kapasitasnya baru sedikit. BBM dengan kualitas tinggi maka kandungan
sulfur harus dikurangi. Tapi konfigurasi kilang-kilang Pertamina belum
siap.
“RDMP di Balikpapan yang katanya bisa
menghasilkan BBM kualitas EURO V itu juga baru akan selesai tahun 2023.
Dan kapasitasnya juga berapa?” katanya.
Kebutuhan
minyak Indonesia ini sekitar 1,6 -1,7 juta barel per hari. Sementara
kilang-kilang kita hanya mampu mengolah sekitar 1 juta. Dari 1juta barel
yang diolah itu, paling hasilanya sekitar 800 ribuan yang bisa
digunakan.
Berarti ada
selisih sekitar 800 ribu dengan kebutuhan. Jadi nanti kalau harus pakai
pertamax, tidak hanya harus impor campurannya (HOMC) namun harus impor
juga produknya, yaitu BBM kualitas tinggi.
(Salam)