Foto : PPI News |
JAKARTA I KEJORANEWS.COM : Di tengah semakin para pekerja di atas kapal “Awak Kapal dan/atau Pelaut” yang sejak lama disibukkan dengan aktivitas untuk menjamin pelayaran yang aman, efisien, dan kegiatan mempertahankan dan/atau meningkatkan skill “keahlian dan keterampilan” nya melalui pendidikan dan pelatihan “Diklat” kepelautan sesuai Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan peraturan turunannya, kini semangat para pelaut melalui kehadiran serikat pekerja “Pergerakan Pelaut Indonesia” mulai bergairah, kini ramai diperbincangkan oleh Pengusaha dan Pemerintah tentang wacana revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan versi pengusaha yang isinya sudah tentu bakal merugikan kaum pekerja/buruh, termasuk pelaut selaku pekerja/buruh di atas kapal.
Gairah dimaksud adalah ketika mereka mengalami permasalahan ketenagakerjaan di atas kapal, serikat pekerja menjadi garda terdepan untuk membela hak dan kepentingan mereka dari ancaman pengusaha di bidang pelayaran yang dalam dunia kerja kerap melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, membayar upah dibawah upah minimum, ketidakjelasan status hubungan kerja (sistim kontrak kerja berpuluh-puluh tahun), ketiadaan hak pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak ketika berakhirnya hubungan kerja, hingga persoalan hak Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang seakan menjadi tabu bagi para pelaut yang sedang bekerja di hari raya tanpa mengenal istilah libur.
Apa Hubungannya Pelaut dengan Wacana Revisi UU No. 13/2003 ?
Telah sangat jelas bahwa dalam Pasal 337 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dikatakan “Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.”. Artinya hal-hal mengenai pelayaran terkait ketenagakerjaan, yang tidak diatur dengan tegas dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran mengacu kepada Peraturan Perundang-Undangan di bidang Ketenagakerjaan, dalam hal ini UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Seharusnya, Pemerintah dan Pengusaha dalam mewacanakan revisi UU No. 13/2003 dapat secara dini melibatkan serikat pekerja di berbagai sektor, termasuk pelaut. Hal tersebut dimaksudkan agar kedepan UU No. 13/2003 semakin baik dan dapat mengakomodir perlindungan terhadap pekerja di berbagai sektor, termasuk sektor trasnportasi baik darat, laut dan udara. Bukan malah revisi yang semakin memburuk seperti wacana pengurangan hak pesangon atau dengan wacana mengganti hak pesangon pekerja/buruh dengan jaminan sosial untuk korban PHK yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum yang diusulkan naik per-dua tahun, dan usulan perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak dari 3 tahun menjadi 5 tahun serta usulan-usulan lain dari pengusaha yang jelas merugikan kaum pekerja/buruh.
Tentang Pesangon
Hak pesangon bagi pelaut saat ini merupakan hal yang baru, pasalnya sekian lama pelaut hampir tidak mengenal yang namanya hak pesangon. Mereka baru menikmati hak pesangon ketika mereka bermasalah dan dibantu oleh serikat pekerja menggugat perusahaan pelayaran melalui mekanisme yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, baik di tingkat Bipartit, Tripartit, hingga di Pengadilan Hubungan Industrial. Bayangkan, dari beberapa pengaduan kasus yang diterima oleh PPI, tidak sedikit pelaut yang telah mengabdi puluhan tahun di sebuah perusahaan pelayaran, ketika hubungan kerjanya berakhir hanya diberikan uang kebijaksanaan oleh perusahaan yang besarannya tidak melebihi dari 3 bulan gaji terakhirnya. Lalu terkait usulan pesangon akan diganti dengan jaminan sosial korban PHK yang akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, apa mungkin hal tersebut dapat terakomodir, khusunya bagi para pelaut? Saat ini saja 70 % pelaut yang posisi bekerja di kapal-kapal di dalam negeri belum atau tidak diikutsertakan oleh pengusaha di bidang pelayaran selaku pemberi kerja untuk didaftarkan menjadi peserta program BPJS Ketenagakerjaan meliputi hak kepesertaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP), yang mana hal itu merupakan kewajiban bagi pemberi kerja sesuai mandat UU SJSN Jo. UU BPJS, dengan dalih para pengusaha bahwa pelaut sudah memiliki jaminan tersendiri oleh asuransi swasta, misal P & I.
Tentang kenaikan Upah Minimum yang diusulkan naik per-dua tahun
Bahwa pelaut Indonesia khususnya yang bekerja di kapal-kapal berbendera Indonesia di perairan Indonesia berharap Menteri Ketenagakerjaan dapat menerbitkan regulasi khusus mengenai Upah Minimum Pelaut dalam negeri dalam bentuk standar upah sektoral nasional pelaut, karena di perairan Indonesia di wilayah manapun, dengan ukuran dan jenis kapal yang sama, maka dibutuhkan tenaga kerja pelaut dengan sertifikat keahlian dan keterampilan yang sama. Kenapa gajinya harus berbeda?
Bahwa, Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan menyatakan “Upah Minimum bagi Awak Kapal dengan jabatan terendah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, berdasarkan ketentuan upah minimum tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”, dengan kata lain kebijakan pengupahan pelaut juga didasarkan ketentuan upah minimum yang biasanya setiap tahunnya mengalami kenaikan, kini dalam wacana revisi UU No. 13/2003 akan diusulkan per-dua tahun kenaikannya. Hal tersebut jelas sangat merugikan posisi kaum pekerja/buruh, termasuk pelaut didalamnya, yang seharusnya pelaut dengan kewajiban memiliki sertifikat keahlian dan keterampilan standar International Maritime Organization (IMO) dapat memiliki regulasi pengupahan khusus yang diterbitkan oleh Menteri Ketenagakerjaan dengan berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan.
Tentang PKWT yang diusulkan diubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun
Bahwa terkait usulan PKWT (Sistim Kontrak) diubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun adalah usulan yang sangat memberatkan bagi pekerja/buruh, termasuk pelaut. Saat ini saja, jika mengacu kepada UU No. 13/2003, pekerjaan tertentu atau sektor usaha, sektor pelaut seharusnya tidak dapat dipekerjakan dengan sistim PKWT (Kontrak), karena jenis dan sifat pekerjaan pelaut itu bukan pekerjaan musiman, dan lagi kapal tidak akan diizinkan berlayar atau diberikan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) oleh Kesyahbandaran jika dalam crewlist tidak lengkap crew kapalnya, meski hanya kurang satu crew kapal. Tetapi faktanya, pelaut dipekerjakan dengan sistim kontrak sampai berpuluh-puluh tahun dan ketika hubungan kerjanya diakhiri tidak diberikan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Maka berdasarkan hal-hal di atas, Pergerakan Pelaut Indonesia dengan tegas menolak wacana revisi Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan versi pengusaha yang sama sekali tidak berpihak terhadap hak dan kepentingan kaum pekerja/buruh, termasuk pelaut !
Rilis PPI, Kamis (15/8/2019)