Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Dr. Ninik Rahayu,S.H.,M.S |
JAKARTA I KEJORANEWS.COM : Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Dr. Ninik Rahayu,S.H,M.S menyampaikan upaya melakukan perubahan pada pelaku penyalahgunaan narkoba melalui system rehabilitasi belum efektif. Senin, (22/07/2019)
"Hingga saat ini belum ada standar baku yang disepakati oleh tiga lembaga yaitu Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Kementrian Sosial (Kemensos) dan Badan Narkotika Nasional (BNN), yang saat ini diberi mandat untuk melakukan rehabilitasi pada pengguna narkoba." Terangnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dipenghujung tahun 2017, Ombudsman telah memberikan saran kepada ketiga lembaga negara. Meski demikian dari hasil monitoring Ombudsman RI, ketiga lembaga masih belum mampu menyeragamkan standar program pelayanan rehabilitasi bagi pasien, dikarenakan belum terdapat kesepakatan antara ketiganya.
"Ombudsman juga menemukan data bahwa ketiganya masih sulit melakukan koordinasi untuk perbaikan, maka pendekatan penanganan narkotika lebih cenderung pada pemidanaan dan berakhir pada pemenjaraan pelaku, dan melupakan pentingnya rehabilitasi," ungkapnya.
Belum lagi baru-baru ini, ia mencontohkan terkait penangkapan Komedian Indonesia, Tri Retno Prayudati alias Nunung akan menambah daftar panjang penghuni lapas, jika sistem rehabilitasi belum menjadi program prioritas pemerintah dalam menangani perkara penyaahgunaan narkoba.
Sebagaimana data saat ini jumlah penghuni lapas mengalami overcrowded, dengan 50% dari kurang lebih 250 ribu pelaku tindak pidana narkoba. Untuk itu ia mengharapkan penegak hukum, mulai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim harus mengubah cara bertindak dalam menangani perkara penyalahgunaan narkoba agar tidak maladministrasi pemidanaan.
Ia melanjutkan, meski hukum pidana dimaksudkan untuk memberikan efek jera, tetapi hukum termasuk hukum pidana juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan upaya perubahan masyarakat, terutama harus dilakukan dengan cara yang sistemik.
"Pengguna narkoba, jika hanya ditahanan saja hasilnya tidak akan menyembuhkan, karena Lapas tidak memiliki tugas pokok fungsi menyembuhkan pecandu narkoba. Pertimbangan lainnya negara juga akan terbebas dengan pembiayaan (Menanggung biaya di Lapas dan Rehabilitasi oleh Negara) yang selama ini sangat tinggi menjadi beban negara," jelasnya.
Dari hasil investigasi ORI pada Mei 2017 tentang adanya temuan rehabilitasi, berbiaya tinggi, rentan adanya diskriminasi kelas ekonomi, dan rentan pungli pada IPWL. Menurutnya, jika sulitnya koordinasi BNN dengan dua lembaga lainnya karena kedudukan BNN selama ini, setidaknya seperti diketahui awal Juli 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 47 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
Ia melanjutkan, argumentasi dikeluarkannya Perpres ini dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi BNN guna optimalisasi pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran Narkotika dan Prekursor narkotika, perlu penyerahan hak keuangan dan fasilitas.
"Perpres ini hanya akan menjadi macan ompong, jika BNN tidak dapat membuktikan bahwa sulitnya koordinasi selama ini disebabkan oleh kedudukan BNN yang belum setara dengan kedua Lembaga lainnya, untuk itu segerakan evaluasi terkait mutu layanan dan metode program rehabilitasi, hapuskan variasi standart biaya rehabilitasi, biaya perawatan yang dikeluarkan pemerintah untuk rehabilitasi," Jelasnya.
Dengan Perpres baru, ia mengatakan BNN ditantang untuk segera menuntaskan rencana program rehabilitasi dengan sistem rawat jalan yang dirasa lebih efektif dan bersifat low cost dari pada rawat inap, yang sampai saat ini tidak didukung oleh Kementerian/Lembaga lain. karena ini menjadi bagian penting pada bangunan sistem pemidanaan yang perlu segera dimatangkan, sehingga BNN tidak menggunakan pendekatan business as usual dalam Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba.
"Ketiganya harus segera berkoordinasi untuk menuntaskan penyusunan grand design program rehabilitasi nasional, jangan adalagi ''Arogansi Sektoral'' dari masing-masing Kementerian/Lembaga," tutupnya kepada pewarta melalui sambungan telekomunikasi.
"Hingga saat ini belum ada standar baku yang disepakati oleh tiga lembaga yaitu Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Kementrian Sosial (Kemensos) dan Badan Narkotika Nasional (BNN), yang saat ini diberi mandat untuk melakukan rehabilitasi pada pengguna narkoba." Terangnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan dipenghujung tahun 2017, Ombudsman telah memberikan saran kepada ketiga lembaga negara. Meski demikian dari hasil monitoring Ombudsman RI, ketiga lembaga masih belum mampu menyeragamkan standar program pelayanan rehabilitasi bagi pasien, dikarenakan belum terdapat kesepakatan antara ketiganya.
"Ombudsman juga menemukan data bahwa ketiganya masih sulit melakukan koordinasi untuk perbaikan, maka pendekatan penanganan narkotika lebih cenderung pada pemidanaan dan berakhir pada pemenjaraan pelaku, dan melupakan pentingnya rehabilitasi," ungkapnya.
Belum lagi baru-baru ini, ia mencontohkan terkait penangkapan Komedian Indonesia, Tri Retno Prayudati alias Nunung akan menambah daftar panjang penghuni lapas, jika sistem rehabilitasi belum menjadi program prioritas pemerintah dalam menangani perkara penyaahgunaan narkoba.
Sebagaimana data saat ini jumlah penghuni lapas mengalami overcrowded, dengan 50% dari kurang lebih 250 ribu pelaku tindak pidana narkoba. Untuk itu ia mengharapkan penegak hukum, mulai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim harus mengubah cara bertindak dalam menangani perkara penyalahgunaan narkoba agar tidak maladministrasi pemidanaan.
Ia melanjutkan, meski hukum pidana dimaksudkan untuk memberikan efek jera, tetapi hukum termasuk hukum pidana juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan upaya perubahan masyarakat, terutama harus dilakukan dengan cara yang sistemik.
"Pengguna narkoba, jika hanya ditahanan saja hasilnya tidak akan menyembuhkan, karena Lapas tidak memiliki tugas pokok fungsi menyembuhkan pecandu narkoba. Pertimbangan lainnya negara juga akan terbebas dengan pembiayaan (Menanggung biaya di Lapas dan Rehabilitasi oleh Negara) yang selama ini sangat tinggi menjadi beban negara," jelasnya.
Dari hasil investigasi ORI pada Mei 2017 tentang adanya temuan rehabilitasi, berbiaya tinggi, rentan adanya diskriminasi kelas ekonomi, dan rentan pungli pada IPWL. Menurutnya, jika sulitnya koordinasi BNN dengan dua lembaga lainnya karena kedudukan BNN selama ini, setidaknya seperti diketahui awal Juli 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 47 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
Ia melanjutkan, argumentasi dikeluarkannya Perpres ini dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi BNN guna optimalisasi pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran Narkotika dan Prekursor narkotika, perlu penyerahan hak keuangan dan fasilitas.
"Perpres ini hanya akan menjadi macan ompong, jika BNN tidak dapat membuktikan bahwa sulitnya koordinasi selama ini disebabkan oleh kedudukan BNN yang belum setara dengan kedua Lembaga lainnya, untuk itu segerakan evaluasi terkait mutu layanan dan metode program rehabilitasi, hapuskan variasi standart biaya rehabilitasi, biaya perawatan yang dikeluarkan pemerintah untuk rehabilitasi," Jelasnya.
Dengan Perpres baru, ia mengatakan BNN ditantang untuk segera menuntaskan rencana program rehabilitasi dengan sistem rawat jalan yang dirasa lebih efektif dan bersifat low cost dari pada rawat inap, yang sampai saat ini tidak didukung oleh Kementerian/Lembaga lain. karena ini menjadi bagian penting pada bangunan sistem pemidanaan yang perlu segera dimatangkan, sehingga BNN tidak menggunakan pendekatan business as usual dalam Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba.
"Ketiganya harus segera berkoordinasi untuk menuntaskan penyusunan grand design program rehabilitasi nasional, jangan adalagi ''Arogansi Sektoral'' dari masing-masing Kementerian/Lembaga," tutupnya kepada pewarta melalui sambungan telekomunikasi.
Andi Pratama