Wakil Walikota Batam, Amsakar Achmad (dok.Kejoranews) |
"Tim Litbang (Penelitian dan Pengembangan) KPK melakukan kajian, analisis benefit (manfaat) dan cost (biaya). Dari analisis itu didapat gambaran bahwa cost lebih besar ketimbang benefitnya, dari posisi FTZ saat ini. Oleh sebab itu KPK merekomendasikan agar dilakukan sejumlah langkah untuk penyelesaian ini,” katanya.
Ia mengungkapkan, ketidak jelasan perubahan status sudah cukup lama dan akan membebankan negara. Contoh hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sebesar Rp 19,72 Triliun, tidak seimbang dengan pemasukan negara yang diperoleh di kawasan FTZ senilai Rp 800 Miliar.
"Karena itu KPK, merekomendasikan agar Presiden bisa mengambil langkah dikesempatan pertama untuk melakukan perubahan status FTZ," terangnya usai melaksanakan rapat dengan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI.
Menurutnya, bisa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang prinsipnya tidak satu pulau dengan pengawasan yang sulit itu, tapi bisa enclave.
"Berikutnya rekomendasi dari KPK untuk perubahan ini, bisa dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Karena perjalanan FTZ dari awal juga melalui Perppu. Apa sulitnya kalau sekarang juga dibuat Perppu,” ujarnya.
Wawako Batam melanjutkan, saat ini belum jelas manfaat yang dirasakan langsung baik oleh masyarakat maupun negara. Masyarakat mendapat pembebasan pajak PPN, PPN BM, Bea Masuk sebesar 10 persen. Tapi pada faktanya harga barang tetap mahal.
“Kenapa mahal. Berarti kan, fasilitas yang diberikan ini tidak berpengaruh dengan harga komoditi dan relatif kecil manfaatnya bagi negara, berdasarkan dokumen FTZ Tahun 2013-2018 terdapat potential lost yang tidak dipungut pajak senilai Rp 111 Triliun. Negara tidak dapat pajak, namun masyarakat tetap juga membeli dengan harga yang mahal." ungkapnya.
Ia menegaskan, Pemko Batam mendukung studi yang dilakukan KPK tersebut. Karena menurut pemerintah daerah, karena manfaat bagi masyarakat memang belum dirasakan secara langsung.
"Studi KPK itu semakin memperjelas data yang cukup lama dibahas. Berarti wajar kemudian KPK memberikan justifikasi, bahwa tim Litbang mereka mengatakan sudah saatnya dan jangan terlalu lama. Kita (Pemko Batam) mendukung itu,” pungkas Mantan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan ESDM Kota Batam.
“Kenapa mahal. Berarti kan, fasilitas yang diberikan ini tidak berpengaruh dengan harga komoditi dan relatif kecil manfaatnya bagi negara, berdasarkan dokumen FTZ Tahun 2013-2018 terdapat potential lost yang tidak dipungut pajak senilai Rp 111 Triliun. Negara tidak dapat pajak, namun masyarakat tetap juga membeli dengan harga yang mahal." ungkapnya.
Ia menegaskan, Pemko Batam mendukung studi yang dilakukan KPK tersebut. Karena menurut pemerintah daerah, karena manfaat bagi masyarakat memang belum dirasakan secara langsung.
"Studi KPK itu semakin memperjelas data yang cukup lama dibahas. Berarti wajar kemudian KPK memberikan justifikasi, bahwa tim Litbang mereka mengatakan sudah saatnya dan jangan terlalu lama. Kita (Pemko Batam) mendukung itu,” pungkas Mantan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan ESDM Kota Batam.
(humas/atm)