BATAM I KEJORANEWS.COM : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya" Pernyataan demikian seolah menjadi pengingat akan perjuangan para pahlawan bangsa tempo dulu dalam memperjuangkan kemerdekaan dan juga mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan bangsa bukanlah perkara mudah mereka dapatkan begitu pula halnya mempertahankan kemerdekaan itu, harta dan jiwa raga menjadi taruhannya demi kata Indonesia Merdeka.
Perjuangan demi perjuangan menyelimuti hari-hari mereka, dan telah menjadikan cerita sejarah bagi penerus bangsa di negeri ini, sedang sejarah itu tidak akan balik berulah, perlahan lenyap dimakan zaman menjadi kenangan manis yang bisa saja menyakitkan. Banyak cerita sejarah yang kita pelajari, tidak sedikit pula yang mereka alami tidak dapat kita mengerti, sedang yang sudah dilewatkan tak semua dapat diketahui.
Mereka bilang Kemerdekaan adalah harga mati, dan mereka itu adalah pejuang bangsa ini yang layak menjadi primadona sepanjang masa di tanah bumi Pertiwi, kita layak menyapa mereka Pahlawan Bangsa. Pujian setinggi langit dan ribuan alunan doa sejatinya layak mereka dapatkan. Indonesia yang dulunya adalah daerah jajahan yang mudah dipecah-belah oleh penjajah, dengan para penjajah itu menyebutnya Hindia-Belanda namun mereka dengan bangga mengaku tanah Nusantara. Diawal kerdekaan 17 Agustus 1945 Indonesia perlahan mulai pasti akan keseriusannya akan sebuah negara, walau masih berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari gelombang serangan penjajah yang menginginkan kembali Indonesia sebagai daerah jajahannya dan pemberontak kemerdekaan yang mulai mengacau hasil perjuangan.
Kita patut bertanya, apakah rakyat kita menghargai jasa-jasa para pahlawan tersebut? Sehingga kita tidak pernah merasakan apa itu sebenarnya bangsa yang besar, bangsa yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, hal tersebut bisa saja terjadi bisa saja tidak namun yang jelas Perayaan 17 Agustus di tahun 2016 ini terasa berbeda, bukan perlombaannya yang kurang meriah bukan pula hadiahnya yang kurang besar tetapi semangat perjuangan dan penghargaan perjuangan itu yang memudar, terlihat jelas yang biasanya setiap rumah memasang Bendera Merah-Putih dijauh hari perayaan, namun tidak demikian halnya kita hanya melihat beberapa saja yang memasang Bendera Merah-Putih didepan rumahnya, miris memang namun itulah adanya.
71 tahun sudah negeri ini merdeka, merdeka bagi para penguasa. Bagi kami rakyat-rakyat jelata merasakan saad ini jauh dari kata merdeka, padahal kami selalu bersyukur atas perjuangan "Sang Pahlawan" dan Bendera sang saka Merah-Putih selalu kami kibarkan didepan gubuk kehidupan kami, bukan pula mengutuk keadaan tapi demikianlah kenyataan. Entah darimana kericuhan negeri ini bermula, permasalahan ekonomi semakin hari semakin keruh, Pengangguran disetiap sudut. Kita sama-sama saling mengetahui rumitnya proses dalam pencarian kerja, sedang lapangan kerja entah dimana, persyaratan adminitrasi menjadi hal wajib untuk mengawalinya, namun kita juga mendengar sang penguasa dinegeri ini seolah membiarkan ribuan tenaga kerja Cina bekerja tanpa adminitrasi yang jelas, apakah sepengetahuan para penguasa atau tidak yang jelas pekerja Cina tersebut telah merampas pekerjaan rakyat Indonesia.
Berkaca kepada sejarah bangsa kita, Ir. Soekarno adalah pemimpin yang disegani oleh cukong-cukong Cina, bahkan tersohor ke penjuru dunia, menjadikan Indonesia bangsa yang diperhitungkan akan Kedaulatannya, pidatonya yang berkobar menciutkan nyali para cukong untuk melakukan keinginannya, Program Swasembada yang di gagas Soeharto perlu kita berbangga hati akan keberhasilannya, masyarakat tergolong sejahtera, hasil panen melimpah-ruah, pola pembangunan tertata rapi, walaupun pada akhirnya berujung dengan tragedi ditahun 1998. Dizaman kepemimpinan Sang Proklamator dan dilanjutkan oleh Bapak pembangunan mampu mensejajarkan posisi Indonesia dengan negara besar lainnya, sejarah mencatat Indonesia sempat disebut sebagai Macan Asia. Kondisi sekarang berbanding terbalik, Macan Asia hanya kenangan yang tinggal Macan Ompong, ikan-ikan dicuri dengan leluasa, pesawat tempur asing lalu-lalang berkeliaran di kawasan Indonesia, kapal-kapal Indonesia dibajak seolah negeri ini tak bertaring seperti Macan Ompong.
Para penguasa kita disibukkan dengan pencitraannya dengan hanya mementingkan isi perutnya sendiri, yang kuat bersorak ria yang lemah melarat dalam penderitaan. Kegaduhan saad ini seolah sengaja dibuat, harga dolar melangit, Mafia-mafia Narkoba merajalela, mama minta pulsa berubah menjadi papa minta saham, Vaksin anak-anak dipalsukan, kebakaran hutan tak dipikirkan, hingga warga negara Amerika Serikat (WNA) berada di Ring 1 dilantik menjadi menteri ESDM. Mungkin saja memang benar kata orang "alangkah lucunya negeri ini".
Vidiel Tania Pratama
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Riau Kepulauan
Perjuangan demi perjuangan menyelimuti hari-hari mereka, dan telah menjadikan cerita sejarah bagi penerus bangsa di negeri ini, sedang sejarah itu tidak akan balik berulah, perlahan lenyap dimakan zaman menjadi kenangan manis yang bisa saja menyakitkan. Banyak cerita sejarah yang kita pelajari, tidak sedikit pula yang mereka alami tidak dapat kita mengerti, sedang yang sudah dilewatkan tak semua dapat diketahui.
Mereka bilang Kemerdekaan adalah harga mati, dan mereka itu adalah pejuang bangsa ini yang layak menjadi primadona sepanjang masa di tanah bumi Pertiwi, kita layak menyapa mereka Pahlawan Bangsa. Pujian setinggi langit dan ribuan alunan doa sejatinya layak mereka dapatkan. Indonesia yang dulunya adalah daerah jajahan yang mudah dipecah-belah oleh penjajah, dengan para penjajah itu menyebutnya Hindia-Belanda namun mereka dengan bangga mengaku tanah Nusantara. Diawal kerdekaan 17 Agustus 1945 Indonesia perlahan mulai pasti akan keseriusannya akan sebuah negara, walau masih berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari gelombang serangan penjajah yang menginginkan kembali Indonesia sebagai daerah jajahannya dan pemberontak kemerdekaan yang mulai mengacau hasil perjuangan.
Kita patut bertanya, apakah rakyat kita menghargai jasa-jasa para pahlawan tersebut? Sehingga kita tidak pernah merasakan apa itu sebenarnya bangsa yang besar, bangsa yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, hal tersebut bisa saja terjadi bisa saja tidak namun yang jelas Perayaan 17 Agustus di tahun 2016 ini terasa berbeda, bukan perlombaannya yang kurang meriah bukan pula hadiahnya yang kurang besar tetapi semangat perjuangan dan penghargaan perjuangan itu yang memudar, terlihat jelas yang biasanya setiap rumah memasang Bendera Merah-Putih dijauh hari perayaan, namun tidak demikian halnya kita hanya melihat beberapa saja yang memasang Bendera Merah-Putih didepan rumahnya, miris memang namun itulah adanya.
71 tahun sudah negeri ini merdeka, merdeka bagi para penguasa. Bagi kami rakyat-rakyat jelata merasakan saad ini jauh dari kata merdeka, padahal kami selalu bersyukur atas perjuangan "Sang Pahlawan" dan Bendera sang saka Merah-Putih selalu kami kibarkan didepan gubuk kehidupan kami, bukan pula mengutuk keadaan tapi demikianlah kenyataan. Entah darimana kericuhan negeri ini bermula, permasalahan ekonomi semakin hari semakin keruh, Pengangguran disetiap sudut. Kita sama-sama saling mengetahui rumitnya proses dalam pencarian kerja, sedang lapangan kerja entah dimana, persyaratan adminitrasi menjadi hal wajib untuk mengawalinya, namun kita juga mendengar sang penguasa dinegeri ini seolah membiarkan ribuan tenaga kerja Cina bekerja tanpa adminitrasi yang jelas, apakah sepengetahuan para penguasa atau tidak yang jelas pekerja Cina tersebut telah merampas pekerjaan rakyat Indonesia.
Berkaca kepada sejarah bangsa kita, Ir. Soekarno adalah pemimpin yang disegani oleh cukong-cukong Cina, bahkan tersohor ke penjuru dunia, menjadikan Indonesia bangsa yang diperhitungkan akan Kedaulatannya, pidatonya yang berkobar menciutkan nyali para cukong untuk melakukan keinginannya, Program Swasembada yang di gagas Soeharto perlu kita berbangga hati akan keberhasilannya, masyarakat tergolong sejahtera, hasil panen melimpah-ruah, pola pembangunan tertata rapi, walaupun pada akhirnya berujung dengan tragedi ditahun 1998. Dizaman kepemimpinan Sang Proklamator dan dilanjutkan oleh Bapak pembangunan mampu mensejajarkan posisi Indonesia dengan negara besar lainnya, sejarah mencatat Indonesia sempat disebut sebagai Macan Asia. Kondisi sekarang berbanding terbalik, Macan Asia hanya kenangan yang tinggal Macan Ompong, ikan-ikan dicuri dengan leluasa, pesawat tempur asing lalu-lalang berkeliaran di kawasan Indonesia, kapal-kapal Indonesia dibajak seolah negeri ini tak bertaring seperti Macan Ompong.
Para penguasa kita disibukkan dengan pencitraannya dengan hanya mementingkan isi perutnya sendiri, yang kuat bersorak ria yang lemah melarat dalam penderitaan. Kegaduhan saad ini seolah sengaja dibuat, harga dolar melangit, Mafia-mafia Narkoba merajalela, mama minta pulsa berubah menjadi papa minta saham, Vaksin anak-anak dipalsukan, kebakaran hutan tak dipikirkan, hingga warga negara Amerika Serikat (WNA) berada di Ring 1 dilantik menjadi menteri ESDM. Mungkin saja memang benar kata orang "alangkah lucunya negeri ini".
Vidiel Tania Pratama
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Riau Kepulauan
Posting Komentar