Rumbai Pesisir, Pekanbaru I KNC : Malang benar nasib perempuan ini, sudah jatuh tertimpa tangga.
Begitulah ungkapan nasib yang sedang dialami Asmawati (52), warga Jalan Teluk
Leok, Rw 03, Kelurahan Limbungan - Rumbai Pesisir.
Istri dari seorang pekerja buruh bangunan itu, kini terpaksa
tidak lagi dapat melihat karena kedua bola matanya buta akibat mengalami
kecelakaan kerja.
Kejadian naas ini terjadi pada saat dirinya sedang bekerja
dibagian "Gluespider" (pengeleman triplek) PT. Asia Forestama Raya
(AFR), yang berada di Jalan Teluk Leok, Kecamatan Rumbai Pesisir, tahun 2013
silam.
Namun sayangnya, sejak mengalami kebutaan itu, wanita separuh
baya yang sudah bekerja di PT AFR sejak tahun 1987 lalu itu dikeluarkan (PHK)
oleh perusahaan tanpa diberikan uang pesangon.
Asmawati menceritakan, tahun 1987 merupakan awal mula dia
bekerja di PT AFR yang dulunya bernama Rajawali Garuda Mas (RGM) dengan status
sebagai karyawan. Namun pada tahun 2007, seluruh karyawan perusahaan di PHK dan
menerima uang pesangon.
"Namun, satu bulan kemudian, kami kembali dipanggil untuk
bekerja oleh perusahaan, tetapi dengan status buruh kontrak," ujarnya
dengan tatapan mata hampa, saat diwawancara, Sabtu (23/1/16).
Tahun 2013 adalah awal dari semua kejadian bermula.
Lem/perekat yang seharusnya mengikat kepingan triplek, mengenai bola matanya. Akibat
kejadian itu, dia dianjurkan untuk berobat ke Rumah Sakit Ibnu Sina dengan
membawa surat rujukan dari perusahaan.
Setelah diperiksa, pihak Rumah Sakit menyarankan agar segera
melakukan Operasi mata untuk tindakan medis. Namun sayangnya, usaha yang
dilakukan pihak Rumah Sakit tidak berhasil, sehingga mata sebelah kanannya
tidak lagi dapat melihat alias buta.
" Memang semua biaya operasi ditanggung perusahaan, tetapi
untuk membeli obatnya saya yang menanggungnya sendiri," tuturnya.
Tak lama setelah itu, mata kiri yang sebelumnya masih bisa
melihat mulai merasakan perih dan kabur. Pihak perusahaan kemudian menyarankan
untuk kembali melakukan operasi. Namun kali ini, semua proses dan biaya
menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Tetapi lagi-lagi, operasi yang dilakukan pihak Rumah Sakit
tidak membuahkan hasil dan kemudian mata sebelah kirinya juga mengalami
kebutaan.
"Entah apa yang saya rasakan saat itu setelah mengetahui
operasi mata untuk kedua kalinya ini juga tidak berhasil. Sekarang, saya sama
sekali tidak bisa melihat apa-apa," katanya dengan tetesan air mata yang
mengalir disela-sela bola matanya yang berpandangan hampa.
Tidak sampai disitu saja, setelah dua kali operasi dan
mengalami kebutaan total, matanya masih merasa perih dan berair yang
menyebabkan seluruh anggota badannya nyeri dan susah tidur.
"Awalnya saya membawa ibu saya kembali ke rumah sakit
Ibnu Sina, tetapi pihak rumah sakit menolak dan menyarankan untuk berobat ke
tempat lain. Karena mereka tidak sanggup lagi," ujar Memen, putra semata
wayang Asmawati. Karena tidak tega melihat ibunya merasa tidak nyaman dan terus
merintih kesakitan, Memen akhirnya memutuskan untuk membawa ibunya berobat ke
Rumah Sakit SMEC Sumatera, yang dulunya berada di Jalan Arifin Ahmad,
Pekanbaru, dengan menggunakan biaya pribadi.
"Saya diberitahu teman bahwa ada rumah sakit spesialis
mata. Sampai disana, mata ibu saya kemudian di Laser. Alhamdulillah hingga saat
ini rasa sakitnya sudah berkurang dan ibu saya sudah bisa tidur pulas. Walaupun
sebenarnya kami bersusah payah mencari pinjaman uang kesana sini untuk biaya
pengobatanya," ungkapnya dengan tegar dan sabar.
Meski tidak bekerja lagi seperti biasanya, Asmawati masih
tetap terdaftar sebagai buruh kontrak PT AFR. Namun pihak perusahaan hanya
memberikan upah sebesar 100 persen gaji untuk 4 bulan pertama, 45 persen gaji
untuk 4 bulan kedua dan 25 persen gaji untuk 4 bulan terakhir.
Tepat pada tanggal 13 November 2015, Asmawati resmi di PHK
oleh PT AFR tanpa menerima uang pesangon.
"Kami coba bertanya tentang uang pesangon kepada bapak
Anggiat (Humas dan Personalia PT AFR), katanya tidak ada, karena perusahaan
sudah membantu dan memberi toleransi dengan membayarkan gaji ibu saya selama
setahun meski ibu tidak lagi bekerja," jelas Memen.
"Kemudian pak Anggiat meminta ibu untuk menandatangani
surat PHK dan surat BPJS. Tetapi karena belum ada pembicaraan dan keputusan
yang jelas tentang uang pesangon, hingga saat ini kami tidak mau
menandatanganinya," ungkapnya.
Memen menambahakan. "Karena sampai sekarang kami terus
mengusahakan kesembuhan ibu dengan pengobatan alternatif menggunakan biaya
sendiri. Tentunya kalau ada uang pesangon itu, sangat membantu serta
meringankan beban keluarga kami bang," sebut Memen.
"Kami hanya berharap pihak perusahaan bisa mengeluarkan
pesangon ibu," harapnya dengan bola mata berbinar.
Perihal ini tambah Memen, sudah dilaporkanya kepada Dinas
Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Riau, untuk ditindak lanjuti.
"Laporan kami sudah diterima, bahkan kami juga sudah
dipanggil dan dimintai keterangan pada hari Selasa (19/1/16) lalu. Dan pihak
Disnaker berjanji akan memanggil pihak Perusahaan PT AFR dalam waktu
dekat," jelasnya.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, pihak keluarga Asmawati
belum juga menerima hasil dan keputusan dari pihak Disnaker Provinsi.
Sedangkan Personalia/Humas PT AFR saat dihubungi, Ahad (24/1).
Telphone Selularnya tidak aktif.
Jika mengacu kepada Pasal 172 Undang- Undang No. 13
tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, karena Asmawati telah bekerja selama 6
tahun(2007-2013), maka seharusnya ia mendapatkan hak pesangon 12 bulan upah + 10 bulan
upah(penghargaan) + cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur,
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di
mana pekerja/buruh diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, serta hal-hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 172 UU No. 13 tahun 2003 berbunyi :
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja
dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Ejo
Posting Komentar